Bangun tidur, aku sudah menerima SMS yang menagih tulisan dan tawaran proyek lagi.
Memang akhir Februari ini, juga menjadi akhir bagi pekerjaanku di perusahaan itu. Aku pun seharusnya sudah menyelesaikan tulisanku. Tapi karena seminggu kemarin laptopku diserang virus dan tidak bisa menyimpan data, tulisan itu belum selesai juga.
Mengenai tawaran proyek itu. Sepertinya tidak akan kuterima untuk sekarang ini. Dua bulan terakhir, sejak aku bekerja full dari rumah, aku seperti menemukan apa yang kucari selama ini.
Aku tidak ingin bekerja kantoran lagi. Aku nggak mau harus melakukan aktivitas rutin membosankan setiap hari. Bangun pagi, bersiap menembus kemacetan ibu kota. Kemudian harus terjebak di belakang meja di dalam sebuah box di salah satu lantai gedung perkantoran. Kemudian sore harinya harus kembali berjibaku dengan kemacetan dan berjuang dengan penuh sesaknya angkutan umum.
Keputusanku yang sudah kubuat akhir tahun 2010 lalu itu sudah menjadi keputusan akhir bagiku. Karena jelas sudah tidak ada keinginan lagi di hati dan pikiranku untuk kembali bekerja seperti itu lagi. Hmmm...
Jadi tawaran tadi tidak akan kuterima. Sementara ini mungkin aku akan istirahat dulu. Toh 2 bulan fokus menulis masih meninggalkan efeknya padaku.
Mengenai penghasilan, nanti dulu lah. Allah pasti akan membuka jalan bagi umatnya yang mau berusaha dan berdoa, bukan?
Sunday, February 27, 2011
Monday, February 21, 2011
Missing You Dad...
Kembali aku menatap nanar layar laptopku... Bersiap lagi menyusun kata-kata bermakna demi tulisanku..
Tadi, sempat di saat waktu rehat aku turun ke ruang tivi di lantai bawah. Seperti biasa kedua orang tuaku sedang asyik memantengi sebuah sinetron kejar tayang yang diputar di sebuah stasiun tivi.
"Lagi seru", kata mama.
Sambil ikut nimbrung dengan mereka, perhatianku tidak tertuju kepada sinetron yang sedang tayang itu. Sesekali aku memandang sekilas ke arah papa. papaku yang sedang khusyuk menonton jalan cerita sinetron favoritnya dengan memakai celana pendek krem dan kaos oblong putih kesukaannya.
Saat itulah aku menyadari: Aku sangat merindukan papa.
Sudah hampir 2 tahun, tepatnya sejak Agustus 2009, papa menderita stroke. Sejak saat itulah sosok pria kuat yang sangat kukagami itu berubah 180 derajat.
Aku rindu dengan papa yang selalu kelihatan gagah dan sehat.
Dulu sebelum sakit, papa termasuk pria berusia lanjut dengan fisik yang masih bisa dikatakan fit. Memang tidak sesehat dahulu karena ia menderita jantung koroner sejak tahun 1992. Tapi papa adalah orang yang sangat concern pada kesehatannya. Dia selalu menjaga asupan tubuhnya, dengan hanya mengonsumsi makanan yang menyehatkan. Papa juga rutin pergi check-up ke dokter dan laboratorium. Setiap check-up pun dia selalu pergi sendiri, tidak pernah ditemani aku, mama, atau saudaranya yang lain. Papa adalah seorang yang mandiri, tidak pernah mau merepotkan orang lain.
Tapi kini, papa begitu tampak lemah dan rapuh. Kaki dan tangan kanannya sangat lemah. Jalannya pun kini pincang dan tertatih-tatih. Papa sudah tidak mungkin pergi kemana-mana sendirian lagi.
Aku rindu dengan suaranya.
Dulu sebelum stroke menyerang, suara papa sangat jelas dan lantang. Terkadang terlalu nyaring untuk orang yang tidak terbiasa mendengarnya.Bahkan sering kali karena nada suaranyanya yang kencang itulah yang sering menyebabkan pertengkaranku dengannya.
Namun kini, suara itu sudah hilang. Well, tidak hilang seluruhnya. Tapi yang tersisa adalah suara yang sangat kecil, yang hampir tidak terdengar oleh telinga. Seperti tersumbat sesuatu di tenggorokannya.
But most of all, aku rindu sekali dengan kebijaksanaannya.
Papa adalah teman dan sekaligus lawan diskusiku. Kami bisa mati-matian membela prinsip dan pendapat masing-masing kalau sedang berdebat mengenai sesuatu. Namun demikian, dialah tempat aku meminta pendapat apabila sedang berada di persimpangan. Memang sekarang ada mama. Tapi mama lebih cenderung menyerahkan kepadaku untuk memutuskan. Sedangkan papa biasanya berusaha membantu dengan menjabarkan kemungkinan terburuk dan terbaik yang bisa terjadi dari setiap opsi yang harus kuambil.
Namun aku menyadari bahwa semua ini adalah cobaan dari Allah. Aku seharusnya bersyukur, kondisi papa sekarang sudah jauh lebih baik dibanding 6 bulan awal saat ia sakit. Ingatannya pun sudah hampir pulih, ia mulai bisa memngingat berbagai hal yang pernah dialaminya sebelum sakit. Walau terkadang, apabila sedang tidak enak badan kondisinya bisa drop melebihi orang pada umumnya.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah berdoa kepada Allah, dan terus menjaga agar papa tidak terpuruk lagi kondisi kesehatannya. Ingin sih rasanya kembali ke waktu saat stroke itu belum menyerang. Namun kita tahu itu semua tidak mungkin kan?
I really miss you Dad....
Tadi, sempat di saat waktu rehat aku turun ke ruang tivi di lantai bawah. Seperti biasa kedua orang tuaku sedang asyik memantengi sebuah sinetron kejar tayang yang diputar di sebuah stasiun tivi.
"Lagi seru", kata mama.
Sambil ikut nimbrung dengan mereka, perhatianku tidak tertuju kepada sinetron yang sedang tayang itu. Sesekali aku memandang sekilas ke arah papa. papaku yang sedang khusyuk menonton jalan cerita sinetron favoritnya dengan memakai celana pendek krem dan kaos oblong putih kesukaannya.
Saat itulah aku menyadari: Aku sangat merindukan papa.
Sudah hampir 2 tahun, tepatnya sejak Agustus 2009, papa menderita stroke. Sejak saat itulah sosok pria kuat yang sangat kukagami itu berubah 180 derajat.
Aku rindu dengan papa yang selalu kelihatan gagah dan sehat.
Dulu sebelum sakit, papa termasuk pria berusia lanjut dengan fisik yang masih bisa dikatakan fit. Memang tidak sesehat dahulu karena ia menderita jantung koroner sejak tahun 1992. Tapi papa adalah orang yang sangat concern pada kesehatannya. Dia selalu menjaga asupan tubuhnya, dengan hanya mengonsumsi makanan yang menyehatkan. Papa juga rutin pergi check-up ke dokter dan laboratorium. Setiap check-up pun dia selalu pergi sendiri, tidak pernah ditemani aku, mama, atau saudaranya yang lain. Papa adalah seorang yang mandiri, tidak pernah mau merepotkan orang lain.
Tapi kini, papa begitu tampak lemah dan rapuh. Kaki dan tangan kanannya sangat lemah. Jalannya pun kini pincang dan tertatih-tatih. Papa sudah tidak mungkin pergi kemana-mana sendirian lagi.
Aku rindu dengan suaranya.
Dulu sebelum stroke menyerang, suara papa sangat jelas dan lantang. Terkadang terlalu nyaring untuk orang yang tidak terbiasa mendengarnya.Bahkan sering kali karena nada suaranyanya yang kencang itulah yang sering menyebabkan pertengkaranku dengannya.
Namun kini, suara itu sudah hilang. Well, tidak hilang seluruhnya. Tapi yang tersisa adalah suara yang sangat kecil, yang hampir tidak terdengar oleh telinga. Seperti tersumbat sesuatu di tenggorokannya.
But most of all, aku rindu sekali dengan kebijaksanaannya.
Papa adalah teman dan sekaligus lawan diskusiku. Kami bisa mati-matian membela prinsip dan pendapat masing-masing kalau sedang berdebat mengenai sesuatu. Namun demikian, dialah tempat aku meminta pendapat apabila sedang berada di persimpangan. Memang sekarang ada mama. Tapi mama lebih cenderung menyerahkan kepadaku untuk memutuskan. Sedangkan papa biasanya berusaha membantu dengan menjabarkan kemungkinan terburuk dan terbaik yang bisa terjadi dari setiap opsi yang harus kuambil.
Namun aku menyadari bahwa semua ini adalah cobaan dari Allah. Aku seharusnya bersyukur, kondisi papa sekarang sudah jauh lebih baik dibanding 6 bulan awal saat ia sakit. Ingatannya pun sudah hampir pulih, ia mulai bisa memngingat berbagai hal yang pernah dialaminya sebelum sakit. Walau terkadang, apabila sedang tidak enak badan kondisinya bisa drop melebihi orang pada umumnya.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah berdoa kepada Allah, dan terus menjaga agar papa tidak terpuruk lagi kondisi kesehatannya. Ingin sih rasanya kembali ke waktu saat stroke itu belum menyerang. Namun kita tahu itu semua tidak mungkin kan?
I really miss you Dad....
Subscribe to:
Posts (Atom)